Tentang Hal-hal yang Tidak Bisa Kita Kendalikan

Sepotong Konversasi Lama dengan Diri Sendiri

Nabila Putri Salsabila
4 min readApr 26, 2020
Daisy flower — he loves me, he loves me not?
Tell me, tell me daisy flower: he loves me, he loves me not? — Illustration by ulisses rangel at Redbubble

Sayang, berhentilah memikirkan apa-apa yang tidak bisa kau kendalikan di dunia ini.

Seperti pikiran buruk orang lain tentangmu,
hati orang yang diam-diam kau sukai,
akan seberapa cerah masa depanmu,
apakah sidangmu akan berakhir dengan lancar atau sebaliknya,
apakah penerbanganmu akan berakhir dengan selamat atau malah menjadi berita,
apakah keberuntungan akan berpihak kepadamu atau kepada orang yang usahanya tidak lebih keras daripadamu,
apakah namamu akan terpanggil menjadi juara,
apakah proses melahirkanmu akan memberikan suatu nyawa sebuah kehidupan baru atau mengirim salah satunya ke alam lain,
tentang kebenaran kepercayaan yang kamu pilih,
tentang dengan cara seperti apa kau akan meninggal,
tentang apa-apa yang akan terjadi esok hari,
apapun itu.

Kau tidak bisa memaksa semua orang untuk menyukaimu, karena meskipun kau adalah orang yang paling baik di seantero jagat raya ini, tetap saja ada orang-orang yang akan mencari seribu satu alasan untuk tidak menyukaimu. Lagipula, bukankah menjadi suatu hal yang melelahkan untuk menjelaskan seberapa baik, atau seberapa buruk diri kita kepada semua orang? Biarlah itu menjadi rahasiamu dan dirimu saja. Orang-orang yang mencintaimu (dan membencimu) tidak akan mempedulikan penjelasan omong kosong tersebut.

Kau juga tidak bisa memaksa orang yang diam-diam kau sukai untuk mencintaimu kembali hanya karena kau merasa hidup menjadi lebih masuk akal dengannya. Memangnya, siapa yang bisa menjamin bahwa kau membuat hidupnya menjadi masuk akal pula? Cinta adalah hal yang rumit — bisa jadi ia lebih rumit dari kode-kode pemrograman komputer yang sedang kau gunakan itu. Hanya segelintir orang-orang beruntung yang bisa mencintai dan dicintai dalam waktu bersamaan, sebagian besar sisanya hanya bisa dengan terpaksa memilih salah satu di antara keduanya. Cerita-cerita kehidupan nyata tentu saja jauh panggang dari api dibanding fantasi-fantasi buatan kepala manusia, lagipula mana ada ‘hidup bahagia selamanya’? — duh, mendengar kata bahagia saja aku sudah skeptis.

Kau juga tidak bisa memaksa keberuntungan agar selalu berpihak kepadamu, karena sekali-kali kau juga harus belajar dirundungi kesialan. Lagipula, keberuntungan adalah probabilitas yang bisa kita ciptakan sendiri. Begitu pula dengan cerah-suramnya masa depanmu, kau selalu bisa membuat guratan rencana-rencana yang bisa jadi di-amin-kan Tuhan. Dirimu sekarang bisa jadi( — bisa tidak), adalah cerminan dirimu di masa depan, maka dari itu ambillah pilihan-pilihan yang sekiranya tidak akan kau sesali ketika sudah saatnya nanti. Bayangkan saja semesta seperti kumpulan miliaran kemungkinan dunia paralel atas pilihan-pilihan yang dibuat manusia, tentu saja kau akan memilih untuk tinggal dan mengambil peran di dunia dengan cerita yang baik, bukan?

Aku juga tahu persis kau takut setengah hidup, setengah mati ketika berpergian dengan burung besi, tapi kau tidak bisa memilih pilot maupun penumpang seperjalanan dalam pesawat yang kau tumpangi. Siapa yang tahu jika ada yang sedang merencanakan aksi bunuh diri, atau mode autonya gagal, misalnya? Kau juga tidak bisa memerintah peristiwa alam untuk menyingkir ketika berpapasan dengan pesawatmu. Manusia adalah makhluk rentan, terima saja kenyataan itu.

Kau juga tidak bisa memaksa dewan juri untuk memilihmu menjadi juara jika ia memang tidak setuju, padahal kau mati-matian berusaha dan merasa bahwa kau lebih berhak mendapatkannya dibanding orang yang usahanya kau anggap tidak lebih keras daripadamu. Dunia ini memang tidak adil, telan saja kenyataan pahit itu— atau lebih tepatnya kita tidak cukup pintar untuk menebak bagaimana kalkulator hitung-hitungan semesta bekerja. Siapa tahu, siapa tahu, doa-doa orang tersebut tembus sampai langit ketujuh, sedangkan doa-doa kau si manusia sombong malah masuk dalam daftar antrian, atau bahkan tidak sudi didengar makhluk langit.

Kau juga tidak bisa memilih dengan cara seperti apa kau akan meninggal. Kecuali kau berteman dekat dengan malaikat maut, mungkin dia akan berbaik hati memberikanmu pilihan-pilihan yang lebih kurang sama menderitanya. Tapi, terlalu banyak memikirkan alternatif-alternatif bagaimana jiwamu akan meninggalkan tubuh hanya akan membuatmu terdistraksi dari menjalani hidup dan meninggalkan jejak dengan sebaik-baiknya, sepenuh-penuhnya.

Kau juga tidak bisa memastikan kebenaran kepercayaan yang kamu pilih. Tidak ada yang tahu persis apa yang akan terjadi setelah kau meninggal — apakah jiwa-jiwamu bebas berterbangan sampai ke dimensi lain, apakah mereka justru sibuk mencari tubuh baru untuk kehidupan selanjutnya, atau apakah ia diizinkan bertemu barang sebentar dengan Sang Pencipta. Belum ada orang yang kembali ke dunia semenjak mereka pergi mengunjungi akhirat, surga, atau neraka. Tidak perlu congkak mengaku-ngaku bahwa kepercayaan kau paling benar adanya, karena kita semua hanya bisa menerka-nerka.

Ku beritahu ya,

masa depan, hidup, semesta dan seisinya adalah misteri, dan kemampuan otak manusia terlalu terbatas untuk mengerti gambaran holistik dari semua kepingan sporadis.

Sudahlah.

Demi dirimu sendiri, berhentilah memikirkan apa-apa yang tidak bisa kita kendalikan.

Alam semesta punya cara kerja rahasianya, dan kita tidak diizinkan untuk melihat buku manualnya, apalagi diperbolehkan untuk menjadi pengendalinya. Yang jelas, tidak perlu terlalu kecewa memikirkan berbagai skenario bagaimana hal-hal seharusnya terjadi. Terus-menerus menyesal tidak akan mengubah sesuatu menjadi variabel hal-hal yang bisa kita kendalikan.

Memang dunia ini tidak masuk akal, tapi setidaknya kita masih punya diri sendiri, dan kita masih bisa mengendalikan pikiran-pikiran sendiri.
.

.

.

Mungkin kata-kata Soe Hok Gie bisa lebih sedikit menenangkanmu, bahwa kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah kehilangan apa-apa.

— Nabila Putri Salsabila —

Asli: Depok, 14 Desember 2017, 00:35
Ditulis seusai presentasi akhir mata kuliah Perancangan Pabrik dan 2 minggu sebelum sidang seminar dalam keadaan cemas namun ada perasaan sedikit lega, hidup rasanya sedikit lebih ringan dan masih masuk akal

Modifikasi: Jakarta, 23 April 2020, 23:00
Ditulis dari rumah di tengah pandemi dunia dalam keadaan kalut, kehilangan harapan, tidak berdaya, dan sulit percaya bahwa hidup bisa kembali masuk akal seperti semula setelah semua ini berakhir

--

--

Nabila Putri Salsabila

Twitter and LinkedIn active user. My thoughts also live in Steller, Tumblr, and WordPress.